Tidal Polarization In Elite Ethnic and Makassar Bugis

  • Imam Mujahidin Fahmid

Abstract

Pada fase tradisional, elit etnis Bugis dan Makassar sama-sama mengembangkan konsep politik simbol. Tradisi politik simbolik itu tertuang dalam naskah imajinatif; tomanurung dan kalompoang. Sebuah konsep untuk melegitimasi kekuasaan sang penguasa. Secara sosial, konsep tomanurung kemudian diterjemahkan oleh elit dan massa sebagai pola hubungan yang bersifat saling melindungi; patron-client. Dalam perjalanan politik orang Bugis dan Makassar, konsep tomanurung kian melemah, diawali dengan kehadiran Islam di Istana Gowa, dan meningkatnya birahi politik para penguasa kerajaan. Perebutan wilayah kekuasaan dan polarisasi politik antara etnis Bugis dan Makassar terus mengalami eskalasi, puncaknya pada abad 17, ketika VOC dan Arung Palakka dari Bone berhasil menaklukan kesultanan Gowa. Sejak kemenangan VOC terhadap Kesultanan Gowa, etnis Bugis menjadi etnis yang dominan dalam struktur kekuasaan formal. Peranan etnis Bugis agak berkurang ketika VOC balik memusuhi kerajaan Bone pada 1905. Struktur kekuasaan kemudian dikuasai kembali oleh istana Gowa hingga fase awal kemerdekaan RI. Pertengahan Orde Lama hingga awal reformasi, etnis Bugis kembali memanggul kekuasaan. Kini melalui pemilihan langsung pemimpin (gubernur) secara langsung (pada era otonomi daerah), panggung kekuasaan di Sulsel direbut kembali oleh etnis Makassar Gowa.
Kata Kunci: elit, tomanurung, etnis, simbol, kekuasaan, polarisasi.
Published
2012-08-12
How to Cite
Mujahidin FahmidI. (2012). Tidal Polarization In Elite Ethnic and Makassar Bugis. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(2). https://doi.org/10.22500/sodality.v6i2.6085